Sinopsis
Wanagalih merupakan sebuah kota kecil yang menjadi ibukota kabupaten di Madiun.
Kota ini berada diantara Sungai Bengawan Solo dan Sungai Ketangga. Di sana hiduplah
seorang petani kecil bernama Atmokasan. Atmokasan memiliki seorang anak yang
bernama Soedarsono. Atmokasan kemudian menitipkan anaknya kepada seorang
priyayi Wanagalih bernama Ndoro Seten. Atmokasan berharap agar kelak Soedarsono
bisa menjadi seorang priyayi seperti Ndoro Seten. Ketika Soedarsono menjadi
bagian dari keluarga Ndoro Seten namanya pun diganti dengan nama Sastrodarsono.
Soedarsono pun akhirnya disekolahkan dan dididik oleh Ndoro Seten hingga pada
akhirnya Soedarsono mempunyai pekerjaan yang menetap yaitu sebagai seorang
guru.
Hingga pada akhirnya Sastrodarsono menikah dengan seorang gadis
bernama Siti Aisyah yang biasa dipanggil Ngaisyah, seorang anak dari mantri
penjual candu asal Jogorogo. Dari pernikahannya Sastrodarsono mempunyai tiga
orang anak. Anak yang pertama bernama Noegroho yang tinggal di Yogya sebagai
guru HIS, seklah dasar untuk anak-anak priyayi, yang kedua Hardojo yang memilih
menjadi abdi dalem Mangkunegaran di Solo, dan anak yang ketiga Soemini
yang menikah dengan seorang asisten wedana di Karangelo yang kemudian tinggal
di Jakarta.
Sastrodarsono juga mengangkat beberapa anak dari keluarganya seperti Soenandar,
Ngadiman, Sri, dan Darmin. Dari empat anak yang diasuhnya, Soenandar menjadi
anak yang paling nakal dan susah diatur. Ketika masih sekolah, Soenandar sering
membuat ulah bahkan sering mengambil uang saku temannya. Hingga pada suatu saat
Soenandar dikeluarkan dari sekolah dan diminta oleh Sastrodarsono untuk
mengawasi sekolah yang didirikan Sastrodarsono di Wanalawas dengan harapan agar
perilaku Soenandar berubah menjadi lebih baik.
Namun semua itu tidak membuat perilaku Soenandar berubah. Soenandar menghamili
seorang gadis bernama Ngadiyem anak seorang janda bernama Mbok Soemo, dan
fatalnya lagi Soenandar tidak bertanggung jawab. Soenandar kabur dari Wanalawas
dan bergabung dengan gerombolan perampok yang dipimpin oleh Semin Genjik.
Ketika dicari oleh keluarga, Soenandar diketahui telah meninggal terbakar
bersama dengan gerombolan perampok itu.
Mengetahui hal itu, Ngadiyem sedih memikirkan siapa yang akan bertanggung jawab
terhadap nasib anaknya. Namun, semua kesedihannya hilang setelah Sastrodarsono
mengatakan bahwa ia akan menanggung semua biaya untuk anaknya. Hingga pada
suatu hari, Ngadiyem melahirkan seorang anak laki-laki bernama Wage. Setelah
berusia 6 tahun, Wage diangkat menjadi anak Sastrodarsono dan namanya diganti
menjadi Lantip. Lantip tumbuh menjadi anak yang cerdas, penurut, dan sangat peduli
terhadap sesama. Di usia dewasanya Lantip dapat menjadi anak yang selalu
membantu memecahkan masalah yang dihadapi oleh dirinya dan keluarga
Sastrodarsono. Ketika suatu hari, Lantip mengetahui bahwa ibunya meninggal
karena keracunan jamur dan mengetahui bahwa ayahnya adalah seorang perampok
yang mati terbakar bersama segerombolan Semin Genjik, Lantip tetap tabah dan
sabar menghadapi semuanya. Lantip tidak berputus asa, semua itu dijadikan
sebagai motivasi bagi Lantip untuk menatap masa depan yang lebih baik.
Noegroho, anak pertama dari Sastrodarsono menikah dengan seorang gadis bernama
Susanti. Dari pernikahannya dengan Soesanti, Noegroho memiliki 3 orang anak.
Anak yang pertama bernama Suhartono atau Toni, yang kedua Sri Sumaryati atau
Marie, dan anak ketiganya Sutomo atau Tommi. Kehidupan keluarga ini penuh
dengan cobaan, pada masa G30S/PKI keluarga ini harus rela kehilangan Toni, anak
pertama mereka karena tertembak oleh para anggota PKI. Tak hanya itu, belum
lama setelah kepergian Toni keluarga ini juga harus menerima cobaan lagi.
Marie, anak perempuan satu-satunya diketahui hamil karena ulahnya bersama
dengan Maridjan, anak pondok yang berasal dari Wonosari, Gunung Kidul.
Penderitaan Marie tak hanya berhenti sampai disitu, setelah diselidiki ternyata
Maridjan sudah memiliki seorang istri bernama Suminten. Suminten juga sedang
mengandung anak Maridjan. Berkat bantuan Lantip akhirnya semua masalah dapat
diselesaikan dengan baik. Maridjan akhirnya menikah dengan Marie cucu dari Sastrodarsono.
Soemini, anak terakhir Sastrodarsono juga mengalami masalah yang sangat berat.
Suaminya, Harjono yang berasal dari Wonosari itu teryata mengkhianati cinta
Soemini. Harjono diketahui berpaling dengan seorang penyayi keroncong bernama Sri
Asih ketika usia pernikahannya tidak lagi seumur jagung. Hingga pada akhirnya
Soemini memutuskan untuk menenangkan dirinya di rumah orang tuanya di
Wanagalih. Setelah beberapa lama akhirnya masalah itu dapat dihadapinya,
Harjono menyusul Soemini ke Wanagalih bersama dengan anak dan cucu-cucunya dan
kembali pulang ke Jakarta sebagai satu keluarga yang utuh.
Masalah tidak hanya dialami oleh Noegroho dan Soemini, Hardojo anak kedua
Sastrodarsono juga mengalami masalah yang tidak kalah rumitnya. Diusianya yang
tak lagi muda, Hardojo mengalami gagal menikah dengan seorang gadis bernama
Maria Magdalena Sri Moerniati atau biasa dipanggil Nunuk karena perbedaan
keyakinan. Hingga pada akhirnya Hardjo menikah dengan mantan siswanya bernama Sumarti.
Dari pernikahannya, pasangan Hardojo dan Sumarti hanya dikaruniai seorang anak
laki-laki bernama Harimurti.
Harimurti sangat akrab dengan Lantip, dan karena Hardojo hanya memiliki seorang
anak maka Sastrdarsono meminta agar Lantip diangkat menjadi anak Hardojo.
Hardojo pun menerima permintaan ayahnya, Lantip kini diangkat menjadi kakak
Harimurti. Seiring berjalannya waktu, masalah juga menghampiri Harimurti.
Harimurti bertemu dengan seorang wanita yang sangat cerdas juga cantik, ia
bernama Retno Dumilah dan biasa dipanggil Gadis. Gadis hidup dikalangan
keluarga yang berkecukupan, dan ia memiliki seorang adik angkat bernama
Kentus. Benih-benih cinta pun tumbuh diantara Hari dan Gadis, hingga pada
suatu hari mereka tidak dapat menahan nafsu mereka.
Pada suatu hari diketahui Gadis hamil mengandung buah hati Harimurti.
Namun, ketika mereka berniat untuk menikah mereka dipisahkan karena
mereka dianggap sebagai anggota Lekra dan Gerwani. Sehingga mereka
dipenjara, Hari ditahan di Yogya dan Gadis pun juga ditahan di Plantungan,
Semarang. Beruntunglah Hari, berkat bantuan Noegroho pakdenya yang pernah
menjadi kolonel, ia berhasil dibebaskan menjadi tahanan rumah. Kemudian, Hari
meminta agar pakdenya juga membebaskan Gadis calon istrinya yang ditahan di
Plantungan. Namun, Tuhan berkata lain, ketika Gadis berusaha ditemui ternyata
Gadis telah meninggal beberapa hari sebelum keluarga Hari menjemputnya. Gadis
meninggal ketika melahirkan anak kembar yang dikandungnya.
Ketika masalah datang bertubi-tubi, kesedihan juga menghampiri Sastrodarsono.
Istri tercintanya harus pergi meninggalkan Sastrodarsono untuk selama-lamanya.
Siti Aisyah meninggal diusia yang tidak lagi muda karena penyakit darah tinggi
dan liver. Beberapa hari sejak kepergian Ngaisyah kondisi kesehatan
Sastrodarsono semakin memburuk, dan Sastrodarsono pun akhirnya meninggalkan
anak-anak dan cucu-cucunya juga Lantip untuk selama-lamanya menyusul Ngaisyah.
Pada saat upacara penguburan jenazah Sastrodarsono, Lantip calon suami Halimah
diminta oleh keluarga Sastrodarsono untuk menyampaikan pidato mewakili keluarga
Sastrodarsono. Lantip dianggap paling pantas untuk menyampaikan pidato dari
pada anak-anak atau cucu Sastrodarsono karena Lantip telah membantu keluarga
besar Sastrodarsono dalam menghadapi berbagai masalah yang datang.
0 komentar:
Posting Komentar