Pages

Banner 468 x 60px

 

Selasa, 01 November 2016

Sinopsis Para Priyayi

0 komentar

Sinopsis

    Wanagalih merupakan sebuah kota kecil yang menjadi ibukota kabupaten di Madiun. Kota ini berada diantara Sungai Bengawan Solo dan Sungai Ketangga. Di sana hiduplah seorang petani kecil bernama Atmokasan. Atmokasan memiliki seorang anak yang bernama Soedarsono. Atmokasan kemudian menitipkan anaknya kepada seorang priyayi Wanagalih bernama Ndoro Seten. Atmokasan berharap agar kelak Soedarsono bisa menjadi seorang priyayi seperti Ndoro Seten. Ketika Soedarsono menjadi bagian dari keluarga Ndoro Seten namanya pun diganti dengan nama Sastrodarsono. Soedarsono pun akhirnya disekolahkan dan dididik oleh Ndoro Seten hingga pada akhirnya Soedarsono mempunyai pekerjaan yang menetap yaitu sebagai seorang guru.
            Hingga  pada akhirnya Sastrodarsono menikah dengan seorang gadis  bernama Siti Aisyah yang biasa dipanggil Ngaisyah, seorang anak dari mantri penjual candu asal Jogorogo. Dari pernikahannya Sastrodarsono mempunyai tiga orang anak. Anak yang pertama bernama Noegroho yang tinggal di Yogya sebagai guru HIS, seklah dasar untuk anak-anak priyayi, yang kedua Hardojo yang memilih menjadi abdi dalem Mangkunegaran di Solo, dan anak yang ketiga Soemini yang menikah dengan seorang asisten wedana di Karangelo yang kemudian tinggal di Jakarta.
            Sastrodarsono juga mengangkat beberapa anak dari keluarganya seperti Soenandar, Ngadiman, Sri, dan Darmin. Dari empat anak yang diasuhnya, Soenandar menjadi anak yang paling nakal dan susah diatur. Ketika masih sekolah, Soenandar sering membuat ulah bahkan sering mengambil uang saku temannya. Hingga pada suatu saat Soenandar dikeluarkan dari sekolah dan diminta oleh Sastrodarsono untuk mengawasi sekolah yang didirikan Sastrodarsono di Wanalawas dengan harapan agar perilaku Soenandar berubah menjadi lebih baik.
            Namun semua itu tidak membuat perilaku Soenandar berubah. Soenandar menghamili seorang gadis bernama Ngadiyem anak seorang janda bernama Mbok Soemo, dan fatalnya lagi Soenandar tidak bertanggung jawab. Soenandar kabur dari Wanalawas dan bergabung dengan gerombolan perampok yang dipimpin oleh Semin Genjik. Ketika dicari oleh keluarga, Soenandar diketahui telah meninggal terbakar bersama dengan gerombolan perampok itu.
           
            Mengetahui hal itu, Ngadiyem sedih memikirkan siapa yang akan bertanggung jawab terhadap nasib anaknya. Namun, semua kesedihannya hilang setelah Sastrodarsono mengatakan bahwa ia akan menanggung semua biaya untuk anaknya. Hingga pada suatu hari, Ngadiyem melahirkan seorang anak laki-laki bernama Wage. Setelah berusia 6 tahun, Wage diangkat menjadi anak Sastrodarsono dan namanya diganti menjadi Lantip. Lantip tumbuh menjadi anak yang cerdas, penurut, dan sangat peduli terhadap sesama. Di usia dewasanya Lantip dapat menjadi anak yang selalu membantu memecahkan masalah yang dihadapi oleh dirinya dan  keluarga Sastrodarsono. Ketika suatu hari, Lantip mengetahui bahwa ibunya meninggal karena keracunan jamur dan mengetahui bahwa ayahnya adalah seorang perampok yang mati terbakar bersama segerombolan Semin Genjik, Lantip tetap tabah dan sabar menghadapi semuanya. Lantip tidak berputus asa, semua itu dijadikan sebagai motivasi bagi Lantip untuk menatap masa depan yang lebih baik.
            Noegroho, anak pertama dari Sastrodarsono menikah dengan seorang gadis bernama Susanti. Dari pernikahannya dengan Soesanti, Noegroho memiliki 3 orang anak. Anak yang pertama bernama Suhartono atau Toni, yang kedua Sri Sumaryati atau Marie, dan anak ketiganya Sutomo atau Tommi. Kehidupan keluarga ini penuh dengan cobaan, pada masa G30S/PKI keluarga ini harus rela kehilangan Toni, anak pertama mereka karena tertembak oleh para anggota PKI. Tak hanya itu, belum lama setelah kepergian Toni keluarga ini juga harus menerima cobaan lagi. Marie, anak perempuan satu-satunya diketahui hamil karena ulahnya bersama dengan Maridjan, anak pondok yang berasal dari Wonosari, Gunung Kidul.
            Penderitaan Marie tak hanya berhenti sampai disitu, setelah diselidiki ternyata Maridjan sudah memiliki seorang istri bernama Suminten. Suminten juga sedang mengandung anak Maridjan. Berkat bantuan Lantip akhirnya semua masalah dapat diselesaikan dengan baik. Maridjan akhirnya menikah dengan Marie cucu dari Sastrodarsono.
            Soemini, anak terakhir Sastrodarsono juga mengalami masalah yang sangat berat. Suaminya, Harjono yang berasal dari Wonosari itu teryata mengkhianati cinta Soemini. Harjono diketahui berpaling dengan seorang penyayi keroncong bernama Sri Asih ketika usia pernikahannya tidak lagi seumur jagung. Hingga pada akhirnya Soemini memutuskan untuk menenangkan dirinya di rumah orang tuanya di Wanagalih. Setelah beberapa lama akhirnya masalah itu dapat dihadapinya, Harjono menyusul Soemini ke Wanagalih bersama dengan anak dan cucu-cucunya dan kembali  pulang ke Jakarta sebagai satu keluarga yang utuh.
            Masalah tidak hanya dialami oleh Noegroho dan Soemini, Hardojo anak kedua Sastrodarsono juga mengalami masalah yang tidak kalah rumitnya. Diusianya yang tak lagi muda, Hardojo mengalami gagal menikah dengan seorang gadis bernama Maria Magdalena Sri Moerniati atau biasa dipanggil Nunuk karena perbedaan keyakinan. Hingga pada akhirnya Hardjo menikah dengan mantan siswanya bernama Sumarti. Dari pernikahannya, pasangan Hardojo dan Sumarti hanya dikaruniai seorang anak laki-laki bernama Harimurti.
            Harimurti sangat akrab dengan Lantip, dan karena Hardojo hanya memiliki seorang anak maka Sastrdarsono meminta agar Lantip diangkat menjadi anak Hardojo. Hardojo pun menerima permintaan ayahnya, Lantip kini diangkat menjadi kakak Harimurti. Seiring berjalannya waktu, masalah juga menghampiri Harimurti. Harimurti bertemu dengan seorang wanita yang sangat cerdas juga cantik, ia bernama Retno Dumilah dan biasa dipanggil Gadis. Gadis hidup dikalangan keluarga yang berkecukupan, dan ia memiliki seorang adik angkat  bernama Kentus.  Benih-benih cinta pun tumbuh diantara Hari dan Gadis, hingga pada suatu hari mereka tidak dapat menahan nafsu mereka.
            Pada suatu hari diketahui Gadis hamil mengandung buah hati Harimurti. Namun,  ketika mereka berniat untuk menikah mereka dipisahkan karena mereka dianggap sebagai anggota Lekra  dan Gerwani. Sehingga mereka dipenjara, Hari ditahan di Yogya dan Gadis pun juga ditahan di Plantungan, Semarang. Beruntunglah Hari, berkat bantuan Noegroho pakdenya yang pernah menjadi kolonel, ia berhasil dibebaskan menjadi tahanan rumah. Kemudian, Hari meminta agar pakdenya juga membebaskan Gadis calon istrinya yang ditahan di Plantungan. Namun, Tuhan berkata lain, ketika Gadis berusaha ditemui ternyata Gadis telah meninggal beberapa hari sebelum keluarga Hari menjemputnya. Gadis meninggal ketika melahirkan anak kembar yang dikandungnya.
            Ketika masalah datang bertubi-tubi, kesedihan juga menghampiri Sastrodarsono. Istri tercintanya harus pergi meninggalkan Sastrodarsono untuk selama-lamanya. Siti Aisyah meninggal diusia yang tidak lagi muda karena penyakit darah tinggi dan liver. Beberapa hari sejak kepergian Ngaisyah kondisi kesehatan Sastrodarsono semakin memburuk, dan Sastrodarsono pun akhirnya meninggalkan anak-anak dan cucu-cucunya juga Lantip untuk selama-lamanya menyusul Ngaisyah.
            Pada saat upacara penguburan jenazah Sastrodarsono, Lantip calon suami Halimah diminta oleh keluarga Sastrodarsono untuk menyampaikan pidato mewakili keluarga Sastrodarsono. Lantip dianggap paling pantas untuk menyampaikan pidato dari pada anak-anak atau cucu Sastrodarsono karena Lantip telah membantu keluarga besar Sastrodarsono dalam menghadapi berbagai masalah yang datang.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Rangkuman Bayu © 2016